(ROMANTIS) “MALAM PERTAMA” DALAM ISLAM
Malam Pertama Menjadi pasangan pengantin
baru merupakan kebahagian tersendiri bagi kedua mempelai. Rasa bahagia itu
begitu menyentuh qalbu yang paling dalam, hati seakan tak mampu menampung rasa bahagia yang telah meluap memenuhi relung hati. Namun
begitu, kebahagian menjadi pengantin baru akan terasa lebih sempurna tatkala
telah melewati kebersamaan di malam pertama dengan penuh cinta. Malam dimana
seseorang bisa menyalurkan hasratnya melalui jalan yang di ridhai Allah.
Sehingga, dengannya tak sekedar kenikmatan yang diperoleh tapi juga pahala
dapat diraih. Nilai pahala akan lebih bertambah seiring bertambahnya rasa kasih
dan sayang antara kedua mempelai manakala berhias dengan adab-adab saat menuju
peraduan cinta, sebagaimana yang dituntunkan Nabi shallallahu a’laihi wasallam
sebagai pembawa syariat Islam yang sempurna.
Diantara
adab-adabnya adalah sebagai berikut :
1.
Sebelum bermalam pertama, sangat
disukai untuk memperindah diri masing-masing dengan berhias, memakai wewangian,
serta bersiwak.
·
Berdasarkan sebuah hadits dari
Asma’ binti Yasid radhiyallaahu ‘anha ia menuturkan, “Aku merias Aisyah untuk
Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam. Setelah selesai, aku pun memanggil
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun duduk di sisi Aisyah.
Kemudian diberikan kepada beliau segelas susu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam meminum susu tersebut dan menyerahkannya pada Aisyah. Aisyah
menundukkan kepalanya karena malu. Maka segeralah aku menyuruhnya untuk
mengambil gelas tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR
Ahmad, sanad hadits ini dikuatkan oleh Al-Allamah Al-Muhadits Al-Albani
dalam Adabul Zifaf].
·
Adapun disunnahkannya bersiwak,
karena adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau selalu bersiwak setiap setiap hendak masuk rumah sebagaimana disebutkan
oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan
sangat baik pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga
menjadi sempurnalah sebab-sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis
pada saat itu.
1.
Hendaknya suami meletakkan tangannya
pada ubun-ubun istrinya seraya mendoakan kebaikan dengan doa yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan :
اللّهمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ
مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya (istri) dan kebaikan
tabiatnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan tabiatnya.”[HR.
Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallaahu 'anhu].
1.
Disunnahkan bagi keduanya untuk
melakukan shalat dua rakaat bersama-sama. Syaikh Al Albani dalam Adabuz
Zifaf menyebutkan dua atsar yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Bakr
Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat
budak sahabat Abu Usaid, beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia
pernah melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr, dan
Hudzaifah.
Abu
Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila istrimu masuk
menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan kepada Allah dan
berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu. Setelah itu urusannya terserah
engkau dan istrimu. “Dalam riwayat Atsar yang lain Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
1.
Ketika menjumpai istri, hendaknya
seorang suami berprilaku santun kepada istrinya semisal dengan memberikan
segelas minuman atau yang lainnya sebagimana dalam hadits di atas, bisa
juga dengan menyerahkan maharnya. Selain itu hendaknya si suami untuk
bertutur kata yang lembut yang menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini.
Sehingga hilanglah perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati
istrinya. Dengan kelembutan dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban
da keharmonisan di antara keduanya.
1.
Apabila seorang suami ingin menggauli
istrinya, janganlah ia terburu-buru sampai keadaan istrinya benar-benar siap,
baik secara fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah sepenuhnya menerima
keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain. Begitu pula ketika suami telah
menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya terburu-buru meninggalkan istrinya
sampai terpenuhi hajat istrinya. Artinya, seorang suami harus memperhatikan
keadaan, perasaan, dan keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia
upayakan pula bisa dirasakan oleh istrinya.
1.
Bagi suami yang akan menjima’i istri
hanya diperbolehkan ketika istri hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam
keadaan haid dan pada tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya
terserah yang dia sukai. Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab
itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i) wanita diwaktu haid, dan
janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu pada tempat yang diperintahkan
Allah kepad kalian (kemaluan saja). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang mensucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat itu bagaimana saja kalian
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian, bertakwalah
kepada Allah, ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Baqarah: 222-223].
Ingat,
diharamkan melalui dubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang
artinya, “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika sedang haid atau
melalui duburnya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada
Muhammad.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud]. Kata ‘kufur’ dalam hadits
ini menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang melakukan hal ini. Meskipun,
kata para ulama, ‘kufur’ yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur kecil yang
belum mengeluarkan pelakunya dari Islam.
1.
Telah kita ketahui bersama bahwa
syaitan selalu menyertai, mengintai untuk berusaha menjerumuskan Bani Adam
dalam setiap keadaan. Begitu
pula saat jima’, kecuali apabila dia senantiasa berdzikir kepada Allah. Maka
hendaknya berdo’a sebelum melakukan jima’ agar hal tersebut menjadi sebab
kebaikan dan keberkahan. Do’a yang diajarkan adalah:
بِسْمِ اللهِ
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan
nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaithan
dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami.”[HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu 'anhu]. Dalam hadits
tersebut disebutkan bahwa seandainya Allah mengkaruniakan anak, maka syaithan
tidak akan bisa memudharati anak tersebut. Al Qadhi menjelaskan maksudnya
adalah syaithan tidak akan bias mearsukinya. Sebagaimana dinukilkan dari Al
Minhaj.
1.
Diperbolehkan bagi suami dan istri
untuk saling melihat aurat satu sama lain. Diperbolehkan pula mandi bersama.
Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah
dalam satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” [HR. Al Bukhari dan
Muslim.]
1.
Diwajibkan bagi suami istri yang
telah bersenggama untuk mandi apabila hendak shalat. Waktu mandi boleh ketika sebelum
tidur atau setelah tidur. Namun apabila dalam mengakhirkan mandi maka
disunnahkan terlebih dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan hadits Abdullah
bin Qais, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang dilakukan
Nabi ketika junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum
mandi?’ Aisyah menjawab, ‘Semua itu pernah dilakukan Rasulullah. Terkadang
beliau mandi dahulu kemudian tidur dan terkadang pula beliau hanya wudhu
kemudian tidur.”[HR. Ahmad dalam Al Musnad]
1.
Tidak boleh menyebarkan rahasia
ranjang. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara
manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah
laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan kepuasan kepadanya,
kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu]
Dari
poin-poin yang telah dijelaskan nampaklah betapa agungnya kesempurnaan syariat
Islam dalam mengatur semua sisi kehidupan ini. Sehingga pada setiap gerak hamba
ada nilai ibadah yang bisa direngkuh pahalanya. Tidak sekedar aktivitas rutin
tanpa faedah, tak semua pemenuhan kebutuhan tanpa hikmah. Oleh sebab itu tak
ada yang sia-sia dalam mengikuti aturan Ilahi dan meneladani sunnah Nabi.
Semuanya memiliki makna serta mengandung kemaslahatan, karena datangnya dari
Allah Dzat Yang Maha Tinggi Ilmu-Nya lagi Maha sempurna Hikmah-Nya. Maka dari
itu syariat yang Allah turunkan selaras dengan fitrah hamba-Nya sebagai
manusia, sebagimana disyariatkan pernikahan.
Kesempurnaan
syariat Islam ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Allah terhadap
hamba-Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya sendiri. Oleh karenanya,
hendaklah setiap hamba tetap berada di atas fitrah tersebut di atas agama allah
agar dirinya selalu berada di atas jalan yang lurus, “(Tetaplah di atas
fitrah) yang Allahtelah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar
Rum: 30]. Allahu a’lam.